Kamis, 30 Juli 2009

Pulau Kakak-Beradik

Karena dianggap sudah cukup umur, Mina dan Lina dipanggil ibu mereka untuk membicarakan rencana perkawinan kakak-beradik itu.
“Kalian sudah cukup dewasa. Sudah waktunya kalian membangun rumah tangga,” kata sang ibu.
“Kami mau dikawinkan dengan satu syarat,” kata Mina dan Lina.
“Apa syaratnya?”
“Karena kami kakak-beradik, suami kami juga harus kakak-beradik.”
Sang ibu tahu, itu adalah cara mereka menolak perkawinan. Menurut Mina dan Lina, perkawinan membuat orang kehilangan segala sesuatu yang mereka cintai: orang tua, teman, sanak-saudara, bahkan kampung halaman.
Demikianlah, karena tak ada laki-laki kakak-beradik yang menyunting Mina dan Lina, mereka tak kunjung menikah. Waktu pun terus berlalu. Ibu Mina dan Lina meninggal karena usia yang semakin tua. Sepeninggal ibunya, gadis kakak-beradik itu tinggal bersama dengan paman mereka.
Pada suatu hari, sekelompok bajak laut menculik Lina. Pemimpin bajak laut itu ingin memperistri Lina. Lina menolak dan meronta sekuat tenaga.
Penculikan itu diketahui oleh Mina. Karena tak ingin terpisah dari adiknya, Mina bertekad menyusul Lina. Dengan perahu yang lebih kecil, Mina mengejar perahu penculik Lina. Teriakan orang sekampung tak dihiraukannya. Mina terus mengejar sampai tubuhnya tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba mendung datang. Tak lama kemudian hujan pun turun. Halilintar menggelegar, petir menyambar-nyambar. Orang-orang berlarian ke rumah masing-masing. Ombak bergulung-gulung. Menelan perahu penculik Lina, menelan Lina, menelan Mina, menelan semuanya.
Ketika keadaan kembali normal, orang-orang dikejutkan oleh dua pulau yang tiba-tiba muncul di kejauhan. Mereka yakin, pulau itu adalah penjelmaan Mina dan Lina. Kedua pulau itu diberi nama Pulau Sekijang Bendera dan Sekijang Pelepah, tetapi kebanyakan orang menyebutnya Pulau Kakak-Beradik.

Bukit Merah

Dulu, Singapura pernah direpotkan oleh ikan todak. Ikan bermoncong panjang dan tajam itu suka menyerang penduduk. Tak terhitung berapa banyak penduduk yang luka-luka dan mati akibat serangan ikan ganas itu.
Raja kemudian memerintahkan penglima perangnya untuk menaklukkan ikan-ikan jahat itu. Maka, dipersiapkanlah sepasukan prajurit untuk membunuh ikan itu. Akan tetapi, hampir semua prajurit itu mati di moncong Todak. Raja bingung bagaimana menundukkan ikan itu.
Di tengah kebingungannya, Raja didatangi seorang anak kecil.
“Mohon ampun, Paduka yang Mulia, bolehkah hamba mengatakan sesuatu tentang ikan-ikan itu?”
“Katakanlah!”
“Ikan-ikan itu hanya bisa ditaklukkan dengan pagar pohon pisang.”
“Apa maksudmu?”
Yang dimaksud anak kecil itu adalah pagar yang terbuat dari batang pohon pisang. Pohon-pohon itu ditebang, dijajarkan, kemudian direkatkan dengan cara ditusuk dengan bambo antara yang satu dan lainnya hingga menyerupai pagar. Pagar itu kemudian ditaruh di pinggir pantai, tempat ikan-ikan itu biasa menyerang penduduk.
Raja kemudian memerintahkan Panglima untuk membuat apa yang dilkatakan anak kecil itu. Diam-diam Panglima mengakui kepintaran si anak. Diam-diam pula dia membenci anak kecil itu. Gagasan si anak membuat Panglima merasa bodoh di hadapan Raja.
“Seharusnya akulah yang mempunyai gagasan itu. Bukankah aku panglima perang tertinggi? Masak aku kalah oleh anaka kecil,” katanya dalam hati.
Keesokan harinya, selesailah pagar pohon pisang itu. Pagar itu lalu ditaruh di tepi pantai sebagaimana yang dikatakana si anak kecil.
Ternyata benar. Ikan-ikan yang menyerang pagar pohon pisang itu tak bisa menarik kembali moncongnya. Mereka mengelepar-gelepar sekuat tenaga, tetapi sia-sia. Moncong mereka yang panjang dan tajam itu menancap kuat dan dalam pada batang pohon pisang yang lunak itu. Akhirnya, dengan mudah penduduk dapat membunuh ikan-ikan jahat itu.
Si anak pun diberi hadiah oleh Raja.
“Terima kasih. Kau sungguh-sungguh anak yang pintar,” puji Raja.
Orang-orang bersuka cita.
Akan tetapi, panglima perang yang iri dan kesal karena merasa tampak bodoh di hadapan Raja itu menghasut Raja.
“Baginda, anak kecil yang cerdas itu tampaknya bisa menjadi ancaman jika dia besar nanti.”
“Maksudmu?”
“Siapa tahu, setelah besar nanti, dengan kepintarannya dia berhasrat merebut tahta Paduka.”
Raja terhasut. Ia lalu memerintahkan Sang Panglima untuk menyingkirkan anak itu.
Sang Panglima mendatangi rumah anak kecil itu dan dengan licik membunuh anak tak berdosa itu. Anehnya, darah si anak mengalir deras dan membasahi seluruh tanah bukit tempat anak itu tinggal. Seluruh bukit menjadi merah. Orang-orang lalu menyebut tempat itu Bukit Merah.

Pulau Hantu

Tersebutlah dua orang jagoan yang selalu ingin menunjukkan dirinya lebih jago dari yang lain. Pada suatu hari, mereka bertemu di perairan sebelah selatan Singapura.

Tanpa ba atau bu, mereka langsung saling menyerang. Mereka bertarung lama sekali hingga tubuh mereka bersimbah darah. Karena sama-sama kuat, tak ada tanda-tanda siapa yang akan kalah.

Jin Laut tidak suka dengan pertarungan itu karena darah mereka mengotori laut. Jin Laut lalu menjungkirbalikkan perahu mereka. Maksudnya agar mereka berhenti bertarung. Ternyata, mereka tetap bertarung. Dengan kesaktiannya masing-masing, mereka bertarung di atas air.

“Hei, aku perintahkan kalian berhenti beratarung! Ini wilayah kekuasaanku. Kalau tidak…”

Bukannya berhenti, kedua jagoan itu malah bertempur lebih seru. Dengan isyarat tangan, mereka bahkan seperti mengejek Jin Laut.

Jin Laut marah. Dia menyemburkan air ke wajah kedua jagoan itu sehingga pandangan mereka terhalang. Karena tak dapat melihat dengan jelas, kedua jagoan itu bertempur secara membabi-buta. Mereka mengayunkan pedang ke sana-kemari sekehendajk hati sampai akhirnya bersarang di tubuh lawan masing-masing. Kedua jagoan itu pun menemui ajalnya.

Para dewa di kayangan mura karena Jin Laut turut campur urusan manusia. Mereka memperingatkan Jin Laut untuk tidak lagi ikut campur urusan manusia. Jin Laut mengaku salah dan mencoba menebus dosa dengan membuatkan tempat khusus agar roh kedua jagoan itu dapat bersemayam dengan tenang. Jin Laut menyulap sampan yang ditumpangi kedua jagoan itu menjadi pulau tempat bersemayam roh mereka. Orang-orang kemudian menyebut pulau itu sebagai Pulau Hantu.

Nyamuk Pertama

Pada zaman dahulu hiduplah seorang petani sederhana bersama istrinya yang cantik. Petani itu selalu bekerja keras, tetapi istrinya hanya bersolek dan tidak mempedulikan rumah tangganya. Mereka tinggal di rumah yang sangat sederhana dan hidup dari hasil pertanian sebagaimana layaknya keluarga petani.
Sang istri yang cantik itu tidak puas dengan keadaan mereka. Dia merasa, sudah selayaknya jika suaminya berpenghasilan lebih besar supaya dia bisa merawat kecantikannya. Untuk memenuhi tuntutan istrinya, petani itu bekerja lebih keras. Namun, sekeras apa pun kerja si petani, dia tak mampu memenuhi tuntutan istrinya. Selain minta dibelikan obat-obatan yang dapat menjaga kecantikanya, istrinya juga suka minta dibelikan pakaian yang bagus-bagus --yang tentunya sangat mahal.
“Bagaimana bisa kelihatan cantik kalau pakaianku buruk,” kata sang istri.
Karena hanya sibuk mengurusi penampilan, istri yang cantik itu tidak memperhatikan kesehatannya. Dia jatuh sakit. Sakitnya makin parah hingga akhirnya meninggal dunia. Suaminya begitu sedih. Sepanjang hari dia menangisi istrinya yang kini terbujur tanpa daya. Karena tak ingin kehilangan, petani itu tak mau mengubur tubuh istrinya yang amat dicintainya itu. Dia ingin menghidupkan kembali istrinya.
Esok harinya suami yang malang itu menjual semua miliknya dan membeli sebuah sampan. Dengan sampan itu dia membawa jasad istrinya menyusuri sungai menuju tempat yang diyakini sebagai persemayaman para dewa. Dewa tentu mau menghidupkan kembali istriku, begitu pikirnya.


Meskipun tak tahu persis tempat persemayaman para dewa, petani itu terus mengayuh sampannya. Dia mengayuh dan mengayuh tak kenal lelah. Suatu hari, kabut tebal menghalangi pandangannya sehingga sampannya tersangkut. Ketika kabut menguap, di hadapannya berdiri sebuah gunung yang amat tinggi, yang puncaknya menembus awan. Di sinilah tempat tinggal para dewa, pikir Petani. Dia lalu mendaki gunung itu sambil membawa jasad istrinya.
Dalam perjalanan dia bertemu dengan seorang lelaki tua.
“Kau pasti dewa penghuni kayangan ini,” seru si petani dengan gembira.
Dikatakannya maksud kedatangannya ke tempat itu.
Laki-laki tua itu tersenyum.
“Sungguh kau suami yang baik. Tapi, apa gunanya menghidupkan kembali istrimu?”
“Dia sangat berarti bagiku. Dialah yang membuat aku bersemangat. Maka hidupkanlah dia kembali,” kata si petani.
Laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya.
“Baiklah kalau begitu. Akan kuturuti permintaanmu. Sebagai balasan atas kebaikan dan kerja kerasmu selama ini, aku akan memberimu rahasia bagaimana cara menghidupkan kembali istrimu. Tusuk ujung jarimu, lalu percikkan tiga tetes darah ke mulutnya. Niscaya dia akan hidup kembali. Jika setelah itu istrimu macam-macam, ingatkan bahwa dia hidup dari tiga tetes darahmu.”
Petani itu segera melaksanakan pesan dewa itu.
Ajaib, istrinya benar-benar hidup kembali.
Tanpa pikir panjang, suami yang bahagia itu pun membawa pulang istrinya. Tapi, sang istri tahu, selain sampan yang dinaiki mereka, kini suaminya tak punya apa-apa lagi. Lalu, dengan apa dia merawat kecantikannya?
Suatu hari, sampailah suami-istri itu di sebuah pelabuhan yang sangat ramai. Petani turun dari sampan dan pergi ke pasar untuk membeli bekal perjalanan dan meninggalkan istrinya sendirian di sampan. Kebetulan, di sebelah sampan mereka bersandar sebuah perahu yang sangat indah milik seorang saudagar kaya yang sedang singgah di tempat itu. Melihat kecantkan istri si petani, pemiliik perahu itu jatuh cinta dan membujuk perempuan cantik itu untuk ikut bersamanya.
“Kalau kau mau ikut denganku, akan aku belikan apa saja yang kau minta,” kata sang saudagar.
Sang istri petani tergoda. Dia lalu pergi dengan saudagar itu.
Pulang dari pasar Petani terkejut karena istrinya tak ada lagi di sampannya. Dia mencari ke sana-kemari, tetapi sia-sia. Setahun kemudian, bertemulah dia dengan istrinya, tetapi istrinya menolak kembali kepadanya. Petani lalu teringat kepada dewa yang memberinya rahasia menghidupkan kembali istrinya.
“Sungguh kau tak tahu berterima kasih. Asal tahu saja, kau hidup kembali karena minum tiga tetes darahku.”
Istrinya tertawa mengejek.
“Jadi, aku harus mengembalikan tiga tetes darahmu? Baiklah…”
Sang istri pun menusuk salah satu jarinya dengan maksud memberi tiga tetes darahnya kepada suaminya. Namun, begitu tetes darah ketiga menitik dari jarinya, wajahnya memucat, tubuhnya lemas, makin lemas, hingga akhirnya jatuh tak berdaya. Mati.
Setelah mati, dia menjelma menjadi nyamuk. Sejak itu, setiap malam nyamuk jelmaan wanita cantik itu berusaha menghisap darah manusia agar dapat kembali ke ujudnya semula.

Anak Katak yang Sombong dan Anak Lembu

Di tengah padang rumput yang sangat luas, terdapat sebuah kolam yang dihuni oleh berpuluh-puluh katak. Diantara katak-katak tersebut ada satu anak katak yang bernama Kenthus, dia adalah anak katak yang paling besar dan kuat. Karena kelebihannya itu, Kenthus menjadi sangat sombong. Dia merasa kalau tidak ada anak katak lainnya yang dapat mengalahkannya.


Sebenarnya kakak Kenthus sudah sering menasehati agar Kentus tidak bersikap sombong pada teman-temannya yang lain. Tetapi nasehat kakaknya tersebut tidak pernah dihiraukannya. Hal ini yang menyebabkan teman-temannya mulai menghindarinya, hingga Kenthus tidak mempunyai teman bermain lagi.


Pada suatu pagi, Kenthus berlatih melompat di padang rumput. Ketika itu juga ada seekor anak lembu yang sedang bermain di situ. Sesekali, anak lembu itu mendekati ibunya untuk menyedot susu. Anak lembu itu gembira sekali, dia berlari-lari sambil sesekali menyenggok rumput yang segar. Secara tidak sengaja, lidah anak sapi yang dijulurkan terkena tubuh si Kenthus.


"Huh, berani makhluk ini mengusikku," kata Kenthus dengan perasaan marah sambil coba menjauhi anak lembu itu. Sebenarnya anak lembu itu pula tidak berniat untuk mengganggunya. Kebetulan pergerakannya sama dengan Kenthus sehingga menyebabkan Khentus menjadi cemas dan melompat dengan segera untuk menyelamatkan diri.


Sambil terengah-engah, Kenthus sampai di tepi kolam. Melihat Kenthus yang kelihatan sangat capek, kawan-kawannya nampak sangat heran. "Hai Khentus, mengapa kamu terengah-engah, mukamu juga kelihatan sangat pucat sekali,” Tanya teman-temannya.


"Tidak ada apa-apa. Aku hanya cemas saja. Lihatlah di tengah padang rumput itu. Aku tidak tahu makhluk apa itu, tetapi makhluk itu sangat sombong. Makhluk itu hendak menelan aku." Kata Kenthus..


Kakaknya yang baru tiba di situ menjelaskan. " Makhluk itu anak lembu. sepengetahuan kakak, anak lembu tidak jahat. Mereka memang biasa dilepaskan di padang rumput ini setiap pagi."


"Tidak jahat? Kenapa kakak bias bilang seperti itu? Saya hampir-hampir ditelannya tadi," kata Kenthus. "Ah, tidak mungkin. Lembu tidak makan katak atau ikan tetapi hanya rumput." Jelas kakaknya lagi.


"Saya tidak percaya kakak. Tadi, aku dikejarnnya dan hampir ditendang olehnya." Celah Kenthus. "Wahai kawan-kawan, aku sebenarnya bisa melawannya dengan mengembungkan diriku," Kata Kenthus dengan bangga.


" Lawan saja Kenthus! Kamu tentu menang," teriak anak-anak katak beramai-ramai.


"Sudahlah Kenthus. Kamu tidak akan dapat menandingi lembu itu. Perbuatan kamu berbahaya. Hentikan!" kata Kakak Kenthus berulang kali tetapi Kenthus tidak mempedulikan nasehat kakaknya. Kenthus terus mengembungkan dirinya, karena dorongan dari teman-temannya. Sebenarnya, mereka sengaja hendak memberi pelajaran pada Kenthus yang sombong itu.


"Sedikit lagi Kenthus. Teruskan!" Begitulah yang diteriakkan oleh kawan-kawan Kenthus. Setelah perut Kenthus menggembung dengan sangat besar, tiba-tiba Kenthus jatuh lemas. Perutnya sangat sakit dan perlahan-lahan dikempiskannya. Melihat keadaan adiknya yang lemas, kakak Kenthus lalu membantu.


Mujurlah Kenthus tidak apa-apa. Dia sembuh seperti sedia kala tetapi sikapnya telah banyak berubah. Dia malu dan kesal dengan sikapnya yang sombong.

Peri dan Hutan Berkabut

Di sebuah desa hiduplah seorang anak perempuan yang lugu. Sheila namanya. Ia senang sekali bermain di tepi hutan. Ibunya selalu mengingatkannya agar tak terlalu jauh masuk ke hutan. Penduduk desa itu percaya, orang yang terlalu jauh masuk ke hutan, tak akan pernah kembali. Bagian dalam hutan itu diselubungi kabut tebal. Tak seorang pun dapat menemukan jalan pulang jika sudah tersesat.

Sheila selalu mengingat pesan ibunya. Namun ia juga penasaran ingin mengetahui daerah berkabut itu. Setiap kali pergi bermain, ibu Sheila selalu membekalinya dengan sekantong kue, permen, coklat, dan sebotol jus buah. Sheila sering datang ke tempat perbatasan kabut di hutan. Ia duduk di bawah pohon dan menikmati bekalnya di sana. Sheila ingin sekali melangkahkan kakinya ke dalam daerah berkabut itu. Namun ia takut.

Suatu kali, seperti biasa Sheila datang ke daerah perbatasan kabut. Seperti biasa ia duduk menikmati bekalnya. Tiba-tiba Sheila merasa ada beberapa pasang mata memperhatikannya. Ia mengarahkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tahu. Namun Sheila tak menemukan siapa-siapa. “Hei! Siapa pun itu, keluarlah! Jika kalian mau, kalian dapat makan kue bersamaku,” teriak Sheila penasaran.

Mendengar tawaran Sheila, beberapa makhluk memberanikan diri muncul di depan Sheila. Tampak tiga peri di hadapan Sheila. Tubuh mereka hanya separuh tinggi badan Sheila. Di punggungnya ada sayap. Telinga mereka berujung lancip. Dengan takut-takut mereka menghampiri Sheila. Anak kecil pemberani itu tanpa ragu-ragu menyodorkan bekalnya untuk dimakan bersama-sama. Peri-peri itu bernama Pio, Plea, dan Plop. Ketiga peri itu kakak beradik.

Sejak saat itu Sheila dan ketiga kawan barunya sering makan bekal bersama-sama. Kadang mereka saling bertukar bekal. Suatu hari Sheila bertanya kepada ketiga temannya, “Pio, Plea, Plop. Mengapa ada daerah berkabut di hutan ini? Apa isinya? Dan mengapa tak ada yang pernah kembali? Kalian tinggal di hutan sebelah mana?” tanya Sheila penuh ingin tahu. Mendengar pertanyaan Sheila ketiga peri itu saling bertukar pandang. Mereka tahu jawabannya namun ragu untuk memberi tahu Sheila. Setelah berpikir sejenak, akhirnya mereka memberitahu rahasia hutan berkabut yang hanya diketahui para peri.

“Para peri tinggal di balik hutan berkabut. Termasuk kami. Kabut itu adalah pelindung agar tak seorang pun dapat masuk ke wilayah kami tanpa izin. Kami tiga bersaudara adalah peri penjaga daerah berkabut. Jika kabut menipis, kami akan meniupkannya lagi banyak-banyak. Jika ada tamu yang tak diundang masuk ke wilayah kami, kami segera membuatnya tersesat,” jelas Pio, Plea, Plop.

Sheila terkagum-kagum mendengarnya. “Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu waktu?” tanya Sheila berharap. Ketiga peri itu berembuk sejenak. “Baiklah. Kami akan mengusahakannya,” kata mereka. Tak lama kemudian Sheila diajak Pio, Plea dan Plop ke negeri mereka. Hari itu Sheila membawa kue, coklat, dan permen banyak-banyak. Sebelumnya, Sheila didandani seperti peri oleh ketiga temannya. Itu supaya mereka bisa mengelabui para peri lain. Sebenarnya manusia dilarang masuk ke wilayah peri. Ketiga teman Sheila ini juga memberi kacamata khusus pada Sheila. Dengan kacamata itu Sheila dapat melihat dengan jelas.

Daerah berkabut penuh dengan berbagai tumbuhan penyesat. Berbagai jalan yang berbeda nampak sama. Jika tidak hati-hati maka akan tersesat dan berputar-putar di tempat yang sama. Dengan bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke negeri peri. Di sana rumah tampak mungil. Bentuknya pun aneh-aneh. Ada rumah berbentuk jamur, berbentuk sepatu, bahkan ada yang berbentuk teko. Pakaian mereka seperti kostum untuk karnaval. Kegiatan para peri pun bermacam-macam. Ada yang mengumpulkan madu, bernyanyi, membuat baju dari kelopak bunga… Semua tampak riang gembira.

Sheila sangat senang. Ia diperkenalkan kepada anak peri lainnya. Mereka sangat terkejut mengetahui Sheila adalah manusia. Namun mereka senang dapat bertemu dan berjanji tak akan memberi tahu ratu peri. Rupanya mereka pun ingin tahu tentang manusia. Mereka bermain gembira. Sheila dan para anak peri berkejar-kejaran, bernyanyi, bercerita dan tertawa keras-keras. Mereka juga saling bertukar makanan. Pokoknya hari itu menyenangkan sekali.

Tiba-tiba ratu peri datang. “Siapa itu?” tanyanya penuh selidik. “Ratu, dia adalah teman hamba dari hutan utara,” jawab Plop takut. Ia terpaksa berbohong agar Sheila tak ketahuan. Ratu peri memperhatikan Sheila dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah itu ia pergi. Sheila bermain lagi dengan lincah. Namun sayang ia terpeleset. Sheila jatuh terjerembab. Ketika itu cuping telinga palsunya copot. Ratu peri melihat hal itu. Ia amat marah.
“Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya?” teriaknya mengelegar. Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar. “Kami, Ratu,” jawab mereka gugup. “Ini pelanggaran. Jika ada manusia yang tahu tempat ini, maka tempat ini tidak aman lagi. Kalian harus dihukum berat,” teriak ratu peri marah. Sheila yang saat itu juga ketakutan memberikan diri maju ke depan. “Mereka tidak bersalah, Ratu. Akulah yang memaksa mereka untuk membawaku kemari.” “Kalau begitu, kau harus dihukum menggantikan mereka!” gelegar ratu peri.

Sheila dimasukkan ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun ketika api sudah dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. “Keluarlah! Kau lulus ujian, ” kata ratu peri. Ternyata kebaikan hati Sheila membuat ia lolos dari hukuman. Ia diperbolehkan pulang dan teman perinya bebas hukuman. Ratu peri membuat Sheila mengantuk dan tertidur. Ia menghapus ingatan Sheila tentang negeri peri. Namun ia masih menyisakannya sedikit agar Sheila dapat mengingatnya di dalam mimpi. Ketika terbangun, Sheila berada di kasur kesayangannya.

Raja Telinga Keledai

Raja Zanas memerintah dengan sewenang-wenang. Kegemarannya menumpuk harta sebanyak mungkin yang diperolehnya dari pajak rakyatnya. Raja Zanas selain tamak juga seorang raja yang sangat kikir. Rakyat yang hidup sengsara tidak sekalipun pernah dipikirkannya. Anehnya raja yang zalim itu mempunyai kegemaran mendengarkan musik.

Padahal kata orang-orang bijak musik dapat memperhalus perasaan. Oleh karena itu yang menyukainya akan mempunyai perasaan yang lembut tetapi cerdas. Salah satu kegemaran Raja Zanas adalah mendengarkan tiupan suling. Kebetulan di negerinya ada seorang peniup seruling yang sangat pandai bernama Tarajan.

Raja Zanas sangat memanjakan Tarajan dan kerap mengirim peniup seruling itu ke seluruh penjuru negeri bahkan ke luar kerajaannya untuk berlomba. Tarajan selalu jadi juara pertama dan memperoleh hadiah-hadiah yang menggiurkan. Sayang karena hal itu Tarajan jadi sombong dan congkak. Karena sombongnya Tarajan mengaku dapat mengalahkan Dewa Apolo. Seorang Dewa bangsa Yunani yang sangat menguasai seni musik.

Tarajan mengusulkan pada Raja Zanas agar ia dipertandingkan dengan Apolo. Usul itu diterima dengan baik bahkan raja merasa bangga jika Tarajan dapat mengalahkan pemain musik dari kerajaan langit itu. Dewa Apolo yang mendengar tantangan itu menyanggupi. Justru Dewa itu ingin memberi pelajaran pada Tarajan dan Raja Zanas yang berkelakuan tidak lazim.

“Seandainya aku kalah biarlah aku mengabdi pada Raja Zanas seumur hidupku. Tetapi andaikan aku yang menang aku minta separuh kerajaanmu dan kuserahkan pada rakyatmu” kata Dewa Apolo. Raja Zanas dan Tarajan setuju. Mereka begitu yakin dapat mengalahkan Apolo yang tampak masih sangat muda itu.

Pada hari yang telah ditentukan pertandingan dimulai. Seluruh rakyat tumpah ruah ke halaman Istana. Sedangkan Dewa Zeus sebagai penguasa seluruh khayangan ikut menyaksikan tanpa seorang pun yang tahu. Sebagai penantang Tarajan dipersilakan meniup seruling terlebih dahulu. Dengan pongah Tarajan naik ke atas podium lalu segera meniup serulingnya. Seruling emas berbalut intan permata milik Tarajan segera mengumandangkan lagu-lagi yang sangat merdu. Naik turun seperti ombak. Lembut seperti angin pesisir. Bergolak seperti ombak menerjang karang.

Semua yang mendengarkan bagaikan tersihir. Begitu hebatnya tiupan seruling Tarajan. Raja Zanas tertawa terbahak-bahak dan yakin sekali peniup serulingnya akan keluar jadi pemenang. Tetapi Dewa Apolo tenang. Diam bagaikan patung, tetapi bibirnya tersenyum. Pertanda kagum juga pada permainan seruling Tarajan. Dan ketika usai sorak ssorai seperti membelah angkasa. Tarajan berdiri berkacak pinggang dengan wajah sangat pongah.

Ketika giliran Dewa Apolo, Dewa kesenian itu mengangkat serulingnya dengan cantik sekali. Lembut bagaikan menimang bayi suci. Dan ketika bibirnya mulai meniupkan sebuah lagu, langit berpendar-pendar antara siang dan malam. Rakyat yang menonton terhanyut dalam irama yang luar biasa indah. Dengan mata terpejam semua menari dengan lembut sekali. Mereka pun menyanyi sebuah lagu kedamaian yang sekonyong saja mampu dinyanyikan. Rakyat yang jumlahnya tidak terhitung itu larut dalam lagu-lagu dan irama yang sebelumnya tidak pernah mereka dengarkan tetapi sangat merdu mendayu-dayu.

Akhirnya Dewa Zeus yang menampakkan diri menyatakan Apolo sebagai pemenangnya. Dan meminta Raja Zanas seger memberikan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Tetapi raja kikir itu menolakk hingga membuat Dewa Zeus marah. “Selama kau tidak memberikan pada rakyat apa yang telah kau janjikan, maka telingamu akan membesar setiap hari.” Kata Dewa Zeus.

Memang benar. Telinga Raja Zanas tiap hari semakin besar hingga sangat berat dan membuatnya tidak bisa berdiri apalagi berjalan. Jadilah ia raja bertelinga keledai. Akhirnya Raja Zanas menyerahkan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Dan berjanji tidak lagi kikir dan tamak. Dewa Zeuslah saksi dari ucapannya.